Featured Video

Selasa, 18 Januari 2011

Industri Bakal Menggeliat Kencang di Tahun Kelinci

Keyakinan Pemerintah menorehkan angka pertumbuhan 5,2% sampai 6,1% di 2011

Jakarta - Optimisme dari kalangan pelaku usaha industri manufaktur menyamai keyakinan pemerintah bahwa sektor non migas bakal menggeliat kencang di tahun kelinci mendatang. Itu tercermin dari pertumbuhan industri yang ditargetkan pemerintah tahun depan. Dengan sangat yakin, pemerintah menorehkan angka pertumbuhan 5,2% sampai 6,1% di 2011. Agar mimpinya tercapai, pemerintah pun telah menyiapkan jurus insentif yang bakal diguyurkan untuk banyak sektor industri.
Sepanjang tahun 2010 lalu, sebenarnya beberapa sektor industri masih mengalami pertumbuhan negatif. Sektor tersebut antara lain industri barang kayu dan hasil hutan  lainnya, yang mencatat pertumbuhan -3,21, lalu industri semen dan barang galian bukan logam yang pertumbuhannya minus 0,98 dan logam dasar  besi dan baja yang pertumbuhannya melorot sekitar -0,39%. Namun secara keseluruhan pertumbuhan industri mengalami banyak perbaikan. Sehingga pertumbuhan industri dalam tahun 2010 diperkirakan mampu mencapai angka 4,9%.
Untuk tahun 2011, pertumbuhannya ditargetkan mencapai 5,2% - 6,2%, atau mengalami peningkatan sekitar 1,3%-2,3%. Target ini bukanlah hal yang tergolong mudah tercapai. Pasalnya banyak persoalan pelik yang melanda industri yang harus segera diselesaikan oleh pemeritah. Permasalahan klasik yang selama ini melanda dunia usaha adalah kepastian hukum dan persoalan infrastruktur.
Seperti tahun 2010, PT LGIEN sempat melontarkan wacana akan hengkang dari Indonesia karena masalah infrastruktur yang menimbulkan biaya ekonomi cukup tinggi.
Direktur Pemasaran LGEIN Budi Setiawan bahkan pernah memastikan relokasi pabriknya dari Tangerang, Banten. Meskipun diimbuhi bahwa relokasi merupakan opsi terakhir.
“LGEIN mengeluhkan infrastruktur jalan, pelabuhan dan kepabeanan (custom) yang bermasalah sehingga memicu biaya tinggi pada proses produksi dan transportasi di pabrik Tangerang. Dan jika tidak ada kepastian, opsi terakhir adalah akan merelokasi pabrik dari Tangerang, Banten, merupakan opsi terakhir,” terang Budi.
Masalah infrastruktur ini akan sangat merugikan Indonesia dan akan mengurangi  investasi di dalam negeri. Andaikata dalam tahun 2011 permasalahan ini tidak tuntas terselesaikan, maka sejumlah pelaku usaha pesimis target pertumbuhan industri tersebut akan tercapai.
Pertumbuhan 5,2%-6% dapat tercapai dengan mudah. Namun pemerintah harus melakukan berbagai upaya terutama ketersediaan infrastruktur. Jika dua hal ini terutama infrastruktur tidak dapat disediakan, maka produk hasil industri tidak dapat didistribusikan ke daerah lain. Karena akan memakan biaya lebih besar. Sayangnya sampai saat ini pembangunan infrastruktur masih menghadapi banyak kendala sehingga akan menghambat pertumbuhan industri. “Apalagi insentif untuk memacu investasi juga belum ada,” terang Ketua Dewan Penasihat Kadin Fahmi Idris yang juga mantan Menperin.
Menyadari pentingnya infrastruktur bagi pertumbuhan industri, pemerintah sudah sepantasnya menyiapkan program pembangunan untuk meningkatkan infrastruktur. Pemerintah sendiri memang sudah berencana akan mengundang peran swasta dalam pembangunan infrastruktur dengan skema Public Private Patnership (PPP).
“Untuk meningkat pertumbuhan hingga 6%, dibutuhkan investasi yang tidak sedikit, yaitu sekitar Rp 124,6 triliun. Untuk mencapai itu semua, kita akan memaksimalkan 4 instrumen yang dimiliki oleh Pemerintah, yaitu APBN, insentif fiskal, penyediaan infrastruktur kawasan industri, dan dukungan administratif, dan sistem PPP,” terang Menteri Perindustrian MS Hidayat beberapa waktu lalu.
Kepala BKPM Gita Wirjawan juga mengaku telah berupaya untuk meningkatkan investasi di sektor infrastruktur dengan menyiapkan setidaknya lima proyek PPP. Diantaranya adalah pembangunan monorel dari Manggarai ke Bandara Soekarno Hatta, dan pembangunan jalan tol.
Namun untuk mencapai pertumbuhan tersebut, selain harus memperbaiki ketersediaan infrastruktur, juga dibutuhkan beberapa insentif untuk mendorong investor mau menanamkan modalnya. Terutama agar penyebaran industri ke daerah di luar Pulau Jawa meningkat. Lantaran saat ini, hampir 70% sentra industri berada di wilayah Jawa.
“Kita akan melakukan beberapa langkah, baik memberikan insentif fiskal dan non fiskal agar industri mau berinvestasi,” tuturnya.
Beberapa insentif fiskal yang akan diberikan untuk menarik investasi agar industri manufaktur dapat tumbuh diantaranya fasilitas tax allowance, BMDTP termasuk pemberlakuan bea keluar untuk pengamanan bahan baku di dalam negeri, serta pemberlakuan tata niaga impor untuk pengamanan industri dalam negeri.
Pertumbuhan industri pada tahun 2011 juga diharapkan bukan sekedar pertumbuhan dengan pengolahan sumber daya alam rendah, namun diharapkan hilirisasi dari sumber daya alam dapat meningkat. Seperti sektor CPO, yang hingga kini baru diolah sekitar 40%, dan sisanya masih diekspor dalam bentuk kelapa sawit, ini sangat merugikan negara dan tidak memberikan nilai tambah.
Pemerintah sendiri merencanakan bakal memberikan insentif terutama untuk industri pionir, hilirisasi. Dengan adanya ini diharapkan ekspor CPO menjadi hanya sekitar 40% dan sisanya diolah di dalam negeri sehingga akan menarik banyak  menciptakan lapangan pekerjaan.
“Ini untuk menarik mereka masuk ke sini. Jadi pertumbuhan industri dalam negeri dapat meningkat. Sekarang pembahasannya sudah dilakukan dengan Menkeu Agus Martowardojo dan Kepala BKPM Gita Wirjawan. Diharapkan awal tahun depan sudah selesai,” papar Hidayat.
Selain insentif fiskal, sambung Hidayat, Pemerintah juga mengklasifikasikan sektor industri ke dalam 6 bagian, dengan masing-masing program sendiri. Yaitu industri padat karya, industri kecil menengah, industri barang modal, industri berbasis sumber daya alam, industri pertumbuhan tinggi, dan industri prioritas khusus.
Hidayat menganggap industri akan memiliki pertumbuhan baik di tahun 2011 karena adanya kepastian pasokan sumber energi berupa listrik yang telah dijamin oleh PLN. Di penghujung tahun 2010, PLN memang menambah pasokan listrik sebanyak 1600 MW untuk wilayah Jabodetabek.
“Dengan adanya tambahan pasokan ini, akan terjadi diversifikasi usaha karena kebutuhan energi telah terpenuhi. Pemerintah berjanji semua masalah listrik untuk tahun 2011 akan teratasi terutama untuk pulau Jawa,” urai Hidayat.
Listrik, kata Hidayat, bukan lagi menjadi faktor yang menjadi kendala. Sekarang tinggal gas yang masih menjadi masalah karena beberapa sektor industri yang membutuhkan pasokan gas cukup dan stabil. “Kalau keramik, pasokan gasnya relatif telah terpenuhi. Tapi sektor lain belum. Nah dengan tambahan listrik saja pertumbuhan industri bisa mencapai 5,3%,” tuturnya.
Dengan pertumbuhan yang cukup baik ini, diharapkan penyerapan tenaga pada tahun 2011 adalah 14.905.019 orang. Selain itu, diharapkan pertumbuhan industri manufaktur mampu mencetak angka ekspor senilai US$ 92,26 miliar.
Bagi Fahmi Idris, jaminan kepastian hukum merupakan harga mati. Alasannya, banyak investasi di sektor industri yang akan tertunda karena tidak adanya kepastian hukum.
Walaupun tahun depan akan dihadang berbagai peraturan yang menghambat, namun Fahmi melihat pertumbuhan industri akan banyak disokong oleh sektor otomotif dan sektor makanan. Alasannya, kedua sektor ini menunjukan pertumbuhan positif.
Ketua umum Apindo, Sofjan Wanandi menginginkan pertumbuhan industri jauh melampaui pertumbuhan ekonomi nasional. Hal itu demi meningkatkan ketersediaan lapangan pekerjaan formal. Untuk mencapai hal tersebut sebenarnya bukan perkara sulit. Hanya saja membutuhkan kerjasama solid antara pemerintah dan pengusaha.
Bagi Sofjan, masalah yang mendesak di sektor industri adalah klasik yang harus segera diselesaikan pemerintah, yaitu soal kepastian hukum dan ketersediaan infrastruktur.
“Sejak lama pak Hidayat memimpin Kadin, diadakan Infrastructure Summit. Namun sampai sekarang tidak terealisasi. Tidak ada jalan, tidak ada listrik. Program 10  ribu mw tidak jalan, tentu akan hal ini akan memperlambat investasi ditambah logistik sekarang jauh lebih mahal,” terangnya
Masalah infrastuktur akan sangat berkait dengan masalah tata ruang dan pertanahan, karena ini merupakan modal awal dalam pembangunan infratruktur dan investasi.
“Pemerintah sudah menjanjikan UU Pertanahan untuk infrastruktur yang selesai tahun ini. Padahal masuk RUUnya pun belum sampai akhir tahun ini, dari dulu kami usulkan ke pemerintah, menurut hemat kami, diPerppukan saja daripada nunggu parlemen, tapi kita tahu presiden tidak berani, merasa tidak afdol  kalau tidak melalui UU,” terangnya.
Di sisi lain, kepastian hukum juga menjadi persoalan tak kalah pelik yang harus diselesaikan. Seperti masalah UU No 13 tahun 2008 tentang Tenaga kerja dan sinkronisasi Peraturan Daerah dan Peraturan Pemerintah Pusat.
“Kami harap UU No 13 bisa masuk ke Proglenas. Kita minta 4 pasal perubahan, disamping pesangon yang tertinggi, dan tentu kita harus perbaiki outsourcing. Ada take and give, sedang dibuat studi oleh LIPI. Kami sepakat untuk  diperbaiki, sama-sama kita kompromikan,” tuturnya.
Jadi, selain sumber daya manusia  Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan infrastruktur dan industri, upaya lainnya untuk menggairahkan perekonomian suatu negara adalah dengan meningkatkan pertumbuhan investasi baik itu investasi asing maupun dari lokal. Indonesia sebagai salah negara berkembang di Asia masih merupakan wilayah yang potensial bagi para investor untuk melakukan investasi.
Tentunya upaya menarik investor agar melakukan investasi harus disertai dengan sarana dan prasarana yang memadai, salah satunya adalah pembangunan infrastruktur. Namun kondisi infrastruktur di negeri ini masih jauh tertinggal ketimbang negara Asia lainnya. Ini tantangan pemerintah pada tahun depan.

Sumber: Neraca.co.id, 31 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger