Featured Video

Sabtu, 18 Desember 2010

Buya Sabe, Kisah Balida dan Benang Sutra


 
Kota Donggala, Sulawesi Tengah menyajikan banyak tawaran pelesiran. Salah satunya menonton para penenun Buya Sabe,atau sarung Donggala. Lalu, menikmati pasir putih Tanjung Karang dan menyicipi Kaledo, makanan khasnya. Hari ini, perjalanan akan kita mulai dari desa para penenun Buya.

Pagi baru merekah, masih tersisa langit yang memerah saga di ufuk timur. Rasanya nyaman menikmati terik mentari sepanjang bibir laut Teluk Palu menuju Donggala.

Bila Anda belum pernah mendengar namanya, bolehlah membaca buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck milik Buya Hamka, ulama dan budayawan kesohor di masanya. Atau bacalah Tetralogi Pulau Buru milik sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Di kedua buku itu, nama Donggala disebut sebagai tempat singgah para pelaut Nusantara dan Mancanegara. Ya Donggala identik dengan pelabuhan lautnya.

Kota tua ini pernah menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda. Pelabuhannya dijadikan Belanda menjadi pelabuhan niaga dan penumpang. Tidak heran masih banyak bangunan tua tersisa di kota ini.

Dari Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah perjalanan menuju Donggala bisa ditempuh tidak lebih dari satu jam. Jaraknya hanya 40 kilometer. Pilihan kendaraannya terserah kita.

Jika ada wisatawan yang mau datang dari Jakarta, bisa dengan pesawat Lion Air, Wings Air, Sriwijaya Air atau Merpati selama dua jam. Lalu transit di Makassar atau Balikpapan, dan 55 menit kemudian akan tiba di Bandara Mutiara Palu. Diteruskan lagi dengan menumpang mobil kijang dari Bandara Mutiara Palu dengan tarif Rp100 ribu hingga Rp150 ribu dengan lama perjalanan antara 30 menit hingga 45 menit.

Lalu hendak ke mana kita di sana? Tenang saja, tawarannya, mau ke pantai pasir putih Tanjung Karang dulu atau menonton para penenun di Banawa Tengah atau Banawa Selatan atau menikmati makanan khas Kaledo?

Rasa-rasanya kita boleh memulai perjalanan dari Banawa Tengah. Jaraknya hanya 2 kilometer arah barat Kota Donggala. Di sana kita akan menyaksikan tangan lincah para remaja dan orang tua memainkan balida di alat tenun tradisional pembuat Buya Sabe.

Buya Sabe
Dari jauh bunyi hentakan balida yang bertemu dengan pasak alat tenun tradisional sudah terdengar bunyinya. Itu tandanya kita sudah dekat dengan Desa Limboro, Kecamatan Banawa Tengah, Donggala. Balida itu, sebuah kayu panjang yang menjadi pemberat di tengah lipatan kain tenun saat penenun memasukkan benang-benang. Biasanya terbuat dari kayu ulin atau ebony.

Selama ini orang hanya mengenal kain tenun Songket dari Palembang atau Ulos dari Sumatera Utara. Padahal, di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, pun ada sarung tenun yang sangat terkenal. Namanya Buya Sabe, yang bahan bakunya benang sutra.

Salah satu pusat Buya Sabe berada di Desa Limboro. Di sana tak kurang 100 penenun setiap hari bekerja. Yang menarik, tidak cuma para perempuan paruh baya berusia 50 – 60 tahun yang menjadi penenun, tapi juga pada gadis remaja berusia 12-20 tahun. Itulah yang menyebabkan tradisi tenun Buya Sabe ini terus terlestarikan. Ia tidak lekang dimakan zaman.

Biasanya mereka bekerja sejak pukul 09.00 – 12.00. Lalu diteruskan lagi pukul 13.00 – 17.00. Ada pula yang menenun di malam hari mulai pukul 19.00 – 22.00.

Bagi ibu rumah tangga, mereka menyelesaikan dulu urusan masak-memasak dan mengatur rumah. lalu kemudian menenun. Sementara bagi gadis remaja, ada yang pergi ke sekolah, ada pula yang membantu orang tuanya.

Untuk setiap satu helai Buya Sabe mereka dibayar Rp 150 ribu. Meski tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mereka tetap tekun menenun dan tentu saja melestarikan tradisi.

Rata-rata masyarakat Limboro adalah petani, tapi ada pula satu dua yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Karenanya, bertani dan menenun tentu saja adalah sumber mata pencaharian mereka yang utama.

Pembuatan tenun Buya Sabe ini, hampir sama dengan pembuatan tenun-tenun yang ada di daerah lain. Baik dari proses pewarnaan benang hingga penenunan.

Coraknya beragam. Antara lain, kain palekat garusu, buya bomba, buya sabe, kombinasi bomba dan sabe. Dari sekian corak tersebut, buya bomba yang paling sulit, hingga membutuhkan waktu pengerjaan satu hingga dua bulan. Berbeda dengan corak lainnya yang hanya membutuhkan waktu satu hingga dua minggu saja.

“Untuk Buya Bomba, kami mengerjakannya dengan sangat hati-hati. Karena corak yang akan dihasilkan sangat banyak. Biasanya pembuatannya sampai dua minggu atau sebulan. Biasa ada yang bilang corak bunga mawar,” kata Habona, perempuan penenun di Limboro yang berusia 56 tahun.

Kalsum, seorang gadis remaja berusia 21 tahun, juga berkata senada. “Susah juga awalnya, setelah terbiasa kita jadi menikmatinya,” aku Kalsum yang belajar menenun dari ibunya.

Tenun Buya Sabe bisa ditemukan di sepanjang Limboro, Salu Bomba, Tosale, Towale dan Kolakola. Desa-desa itu berada di sebelah barat Kota Donggala.

Selain pewarisan turun temurun, tenun Buya Sabe juga dilindungi dengan Peraturan Daerah oleh Pemerintah Kabupaten Donggala. Bahkan di tingkat Provinsi Sulawesi Tengah, setiap Sabtu, para Pegawai Negeri Sipil (PNS) diwajibkan memakai batik yang terbuat dari Buya Sabe.

“Perda itu untuk menjaga agar tenun Donggala itu bisa lestari dan tidak diduplikasi oleh pihak lain,’’ kata Habir Ponulele, Bupati Donggala.

Harganya tergantung coraknya. Harga termurah mencapai Rp 300 ribu dan paling mahal seharga Rp 650 ribu.

Nah, sudah puaskan menonton para penenun di Limboro, hari ini?! Besok, kita akan menuju Tanjung Karang. Jaraknya dari Limboro tinggal 3 kilometer. (jafar g bua/ jgbua@yahoo.comThis e-mail address is being protected from spambots, you need JavaScript enabled to view it )a

1 komentar:

 
Powered by Blogger