Featured Video

Kamis, 16 Desember 2010

Dalam Jangka Panjang Petani Kakao Diuntungkan, Pasar Kakao Lebih Beragam

Jakarta, Kompas – Industri pengolahan kakao mengajak para eksportir biji kakao bekerja sama meningkatkan nilai tambah komoditas kakao dalam negeri. Adanya kerja sama akan meningkatkan pendapatan petani kakao karena pilihan pasar lebih beragam.

Menurut Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia Piter Jasman, Rabu (14/4) di Jakarta, kerja sama bisa dilakukan dengan cara eksportir mengirimkan biji kakao ke pabrik pengolahan untuk diolah. Setelah itu, eksportir bisa mengambilnya untuk diekspor dengan membayar biaya pengolahan.

Dengan kerja sama ini, akan tumbuh peluang kerja baru. Sementara eksportir tidak dirugikan karena mereka tetap bisa mengekspor kakao dengan harga lebih tinggi. Bedanya, kalau semula mengekspor produk primer dalam bentuk biji kakao, selanjutnya mereka bisa mengekspor kakao olahan, seperti bubuk cokelat dan minyak cokelat. ”Petani kakao juga akan diuntungkan karena mereka mendapatkan alternatif pasar yang lebih beragam,” katanya.

Karena banyak pilihan pasar kakao, baik ekspor langsung maupun masuk ke industri kakao, akan muncul kesadaran petani untuk meningkatkan produktivitas kakao.
Piter mengungkapkan, pasar kakao dunia terus tumbuh. Data International Cocoa Organization menunjukkan, dalam lima tahun berturut-turut permintaan cokelat dunia naik rata-rata 5 persen. Khusus untuk China naik 20 persen.
Kementerian Pertanian menargetkan produksi biji kakao Indonesia tahun 2020 naik menjadi 2 juta ton dengan melakukan intensifikasi, seperti program Gernas Kakao yang menelan dana Rp 1,34 triliun. Pasar cokelat tiga negara berpenduduk besar, seperti China, India, dan Indonesia, juga akan terus berkembang dengan target konsumsi per kapita 1 kilogram per tahun.

”Pesatnya pertumbuhan pasar kakao harus diimbangi dengan tumbuhnya industri pengolahan kakao dalam negeri. Kalau tidak, nilai tambah kakao hanya akan dinikmati negara lain,” katanya.

Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian pada Kementerian Pertanian Zaenal Bachruddin menyatakan, pemerintah akan terus mendorong kerja sama antara petani kakao fermentasi dan industri kakao. Bantuan juga diberikan pemerintah untuk menjalin kemitraan di antara keduanya.

Zaenal menyatakan, Kementerian Perindustrian juga telah mengondisikan pengembangan industri pengolahan kakao dalam negeri sehingga Indonesia ke depan tidak semata mengekspor bahan baku, tetapi juga produk setengah jadi dan produk jadi.

Kemarin para eksportir dan pedagang kakao di Sulawesi Tengah (Sulteng) meminta pemerintah bersikap fleksibel dalam pemberlakuan bea keluar kakao. Terhadap kakao stok lama yang saat ini masih berada di gudang-gudang pedagang dan eksportir, pemerintah hendaknya tidak memberlakukan bea keluar ekspor kakao agar beban kerugian eksportir dan pedagang tidak terlalu berat.

Toni Mangintu, Wakil Ketua Asosiasi Kakao Indonesia Sulteng, di Palu, menyebutkan, stok lama yang saat ini masih tertampung di gudang-gudang mencapai 6.000 ton. Nilai materiilnya ditaksir setara Rp 15 miliar. Alangkah ruginya eksportir dan pedagang jika stok itu juga harus dikenakan bea keluar.

”Pasalnya, di lapangan, untuk stok lama ini, pedagang pengumpul sudah membayar panjar ke petani dan eksportir pun sudah bayar panjar ke pedagang. Semuanya dengan harga lama. Sekarang tidak ada yang mau harganya dikurangi,” katanya.

Menurut Toni, banyak kondisi lapangan yang tidak sepenuhnya dipahami oleh Menteri Keuangan ketika menyusun dan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/2010. Parahnya, peraturan yang terbit 22 Maret 2010 itu serta-merta diterapkan per 1 April 2010 tanpa masa sosialisasi yang memadai.
”Situasinya tidak sesederhana yang dibayangkan. Kalau kondisi seperti ini berlangsung terus, berapa banyak kerugian yang akan timbul dan sebagian besar imbasnya ke petani,” ujar Toni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger